Advokat Harus Diberikan Kesetaraan Penegak Hukum

“Carut marutnya” dunia hukum Negara kita saat ini diliputi dengan berbagai macam dan ragam masalah, tapi hal itu tak membuat pengacara yang satu ini pesimis. Justru hal itu disikapi dengan kedewasaan rohaninya dalam menyoroti penegakan hukum yang saat ini lebih mengakomodir kepentingan politik ketimbang fungsi hukum itu sendiri, padahal negara kita menjadikan hukum sebagai Panglimanya. “meski demikian kita sebagai orang beriman dan percaya harus selalu optimis bahwa di era kepeminpinan Pak Jokowi akan banyak terjadi perubahan “, terangnya pada awal bincang pagi itu di kantor Law firm-nya yang berada di kawasan Taman Aries Jakarta Barat.

DR. Hartono bukan saja sebagai Pengacara dengan gelar doktor dibidang Hukum Perbankan saja, tetapi masih memiliki kegiatan diberbagai organisasi, diantaranya dibidang Akuntan dan Pengacara. Bahkan pernah berkecimpung di dunia pendidikan sebagai dosen diberbagai kampus. Salah satunya, diperguruan tinggi Negeri di Jakarta dan terakhir ini aktif dalam kegiatan rohani para pengusaha atau yang dikenal dengan (Full Gospel Busines Man Fellowship International). Kesemua pengalaman itu dapat menambah wawasan dan pola pikir serta pandangan dalam menyikapi masalah hukum, dengan prinsip hukum sebagai Panglima seutuhnya tanpa disertai diskriminasi penerapannya.

DR.Hartono memberi contoh Negara lain di Asia Tenggara yang melakukan upaya pencegahan korupsi diantaranya Singapura, Malaysia dan Hongkong (HK) yang sukses dan berhasil dalam peran dan fungsi KPK menjalankan tugasnya. Contoh dari pengalaman HK di tahun 1970, ketika itu polisi HK yang sangat korup bisa diberantas secara sistimatis dan efektif, karena KPK HK dalam menangani perkara korupsi itu dengan membatasi sampai suatu waktu tertentu (cut off date), sehingga tugas dan peran KPK bias optimal, efisien dan efektif. Syaratnya adalah dalam tenggang waktu itu para koruptor harus segera kembalikan hasil korupsinya kepada Negara. Jika tidak, maka proses hukum bagi para koruptor tetap dilanjutkan meski sudah lebih batas waktu penanganan perkara yang ditentukan itu. Hal ini pernah diungkapkan oleh KPK Hongkong dalam harian Kompas. Keberadaan KPK HK itu sudah lebih dari 40 tahun, sedangkan keberadaan KPK di Indonesia baru belasan tahun saja.

Menurut DR. Hartono selaku praktisi hukum dan pengajar, bahwa efektifitas KPK akan semakin baik jika pola penanganan kasus korupsi dilakukan dengan metode cut off date. Metode ini untuk mengurangi upaya saling balas dendam atau saling ungkit kesalahan masa lalu, baik oleh KPK maupun oleh Polri sendiri. Sebab hal ini penting, agar KPK tak terpaku masa lalu saja melainkan harus memfokuskan masalah masalah saat ini dan dikemudian hari termasuk melakukan prinsip pencegahan yang lebih efektif.

Seperti yang kita ketahui, bahwa belum lama ini terjadi “perseteruan” antara Polri dan KPK dimana hal itu berawal dari penetapan Komjend BG sebagai Tersangka selang sehari setelah BG diumumkan oleh Presiden sebagai Kapolri. Kemudian Polri menetapkan BW dan AS sebagai Tersangka meski kasus itu sudah lama. Secara kasat mata terlihat bahwa para pihak saling mempertahankan harga diri institusi. Karena penetapan Komjend BG sebagai Tersangka itu juga terkesan “melawan” putusan Presiden sebagai Kepala Negara. Kejadian ini tidak memperlihatkan kewibawaan dan kerjasama yang positif antar sesama para penegak hukum.

 

Peran Dan Fungsi Pengacara Harus Lebih Disetarakan Dengan Para Penegak Hukum

Hartono sebagai seorang Advokat mengatakan bahwa penegak hukum di bangsa ini bukan saja Polri dan KPK, tapi juga terdapat penegak hukum lain seperti Hakim, Jaksa dan Advokat selaku catur wangsa. Tapi pada kenyataan selama ini peran Advokat belum optimal selaku penegak hukum di Indonesia, karena selama inia Advokat tidak memiliki kewenangan sama sekali. Salah satu contoh bahwa Advokat tidak selalu diberi haknya untuk memperoleh penangguhan dari Polri atau Jaksa meski telah memenuhi syarat dan diatur dalam pasal 29 KUHP, karena sistem penjaminan belum diatur dan peran Pengacara tidak dianggap sama sekali.

Peran dan kewenangan Pengacara belum optimal sebagai Penegak Hukum lainnya di Indonesia, akhirnya fungsi dan pekerjaan Pengacara sebagai Officium Nobile hanyalah sebagai ”istilah kiasan” saja. Tapi bukan berarti Pengacara dapat mengajukan penangguhan untuk kasus Narkoba, Teroris, pembunuhan, cyber crime dan senjata api. Akhirnya Advokat hanya bisa berperan sebagai ”makelar kasus” dengan tanpa harus dan perlu mengoptimalkan pengetahuan dan ilmu hukum untuk melakukan pembelaan, pendampingan dan memberi bantuan hukum, ujarnya sengit.

Disisi lain doktor Hartono berharap agar para pengacara sendiri harus bersatu dalam memperjuangkan hak-haknya selaku salah satu penegak hukum dan dapat bekerja dibidang nya sebagai ”Officium Nobile” sebagaimana peran Pengacara dinegara lain,seperti Singapura, Malaysia, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Bahkan pada saat berlangsung Munas Peradi II di Makassar itu tidak menghasilkan seorang Ketua Dewan Pengurus Nasional yang disebabkan ”kubu-kubuan” yang hanya mendahulukan kepentingan kelompok dan golongan saja tanpa memikirkan peran dan fungsi Pengacara sebagai Profesi Officium Nobile yang sejati. Salah satu organisasi Pengacara dibawah Peradi yang teratur, rapi dan berperan dalam bidangnya yaitu Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Keberadaan HKHPM sangat diakui perannya di lembaga Pasar Modal dan Otoritas Jasa Keuangan.

Diakui oleh doktor Hartono bahwa apabila kita berbicara keadilan di dunia ini, maka sesungguhnya sangat semu dan tidak ada keadilan yang sejati, hal ini pun telah ditulis dalam Firman Tuhan, Kitab Pengkhotbah 3 ayat 16 yang berbunyi : Ada lagi yang kulihat dibawah matahari : di tempat pengadilan, disitupun terdapat ketidakadilan dan di tempat keadilan di situ pun terdapat ketidakadilan. Rasa ketidak adilan itu hampir terjadi diseluruh belahan bumi, jadi apapun yang terjadi di negara kita yang tercinta ini, kita harus optimis dan percaya sebagai anak Tuhan dan anak bangsa ini kita harus berslogan right wrong is my country.

Saat ini peran KPK Indonesia memang masih belum berjalan sesuai dengan harapan masyarakat dalam menjalankan fungsi penegakkan hukum, tapi tidak perlu kecewa dan putus asa. Salah satu hal yang perlu diketahui bahwa presentase kejahatan korupsi di Singapura dan Hongkong sampai ke titik yang sangat rendah itu tidak bisa dijalankan dalam waktu singkat. Melainkan hasil itu bisa diperoleh karena penerapan sanksi hukum yang tegas, sistem yang transparansi disemua lini, prinsip akuntabel dan berlaku bagi siapa saja tanpa pandang bulu serta peran pemerintah. Apalagi Negara Indonesia memiliki belasan ribu pulau, memiliki geografis yang amat beragam, total populasi diperingkat kelima di dunia, beragamnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan yang belum merata dan bahkan sangat timpang antar si miskin dan si kaya, masih terbatas sarana dan prasarana teknologi informasi di beberapa daerah terpencil, sehingga hal itu menjadikan minat korupsi semakin subur dan terbuka sifatnya. Namun jika seluruh komponen masyarakat sadar akan dampak kejahatan korupsi dalam kehidupan bernegara, maka niscaya tingkat kejahatan korupsi disemua lini dimasa mendatang akan berkurang dengan sendirinya, jika KPK dan seluruh penegak hukum mempunyai tekad yang sama untuk memberantas korupsi. Maka perekonomian Indonesia akan mengalami kebangkitan yang luar biasa, jika para investor sudah tidak merasa khawatir akan terjadi korupsi dibidang hukum. Sudah barang tentu perekonomian Indonesia akan lebih baik lagi di masa mendatang, meski selama ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan sesama Negara Asean seperti Brunei, Singapura dan Malaysia. Bahkan jika kita tidak serius memberantas korupsi, maka ekonomi kita akan tertinggal dengan Negara Asean seperti Vietnam, Myamar dan Laos.

 

Penyidik Dari TNI Tak Masalah

Idealnya dalam penegakan hukum, doktor Hartono berharap penerapan hukum itu tanpa pandang bulu dan tidak berdasarkan kepentingan suatu golongan dan kelompok tertentu saja, meski kenyataan saat ini dapat dikatakan “politiklah yang menjadi panglima” dan peran hukum itu masih jauh dari harapan, karena salah satu penegak hukum lainnya, Pengacara itu belum diberikan hak dan kewenangan sebagai profesi Officium Nobile maka selama itu pula belum ada penyeimbang diantara para penegak hukum. Pengacara belum jalankan fungsi dan peran yang sesungguhnya, karena profesi yang dijalankan itu belum gunakan perangkat dan keahlian hukum secara maksimal. Sebab itu sudah saatnya sekarang profesi pengacara tidak dijalankan dengan hanya mengandalkan koneksi, korelasi, lobi dan uang itu akan berdampak negative dan sangat memprihatinkan nasib bagi para pencari keadilan.

Apabila seandainya Pengacara dapat menjalankan fungsi sebagai salah satu penegak hukum, maka dengan sendirinya dunia hukum di Negara kita akan mengalami kemajuan dan bahkan bisa menjadi penyeimbang yang sangat efektif dan sekaligus bisa mengurangi mafia peradilan dan tingkat korupsi di dunia hukum semakin terkikis dengan sendirinya.

Demikian juga halnya untuk memperkuat peran KPK di masa mendatang telah timbul suatu wacana agar KPK dapat juga memperkaryakan anggota TNI sebagai penyidik. Menurut doktor Hartono bahwa siapa saja bisa menjadi penyidik KPK sepanjang segala persyaratan sebagai penyidik KPK terpenuhi, terlepas penyidik itu berasal dari TNI atau bukan ? selama ini tidak ada penyidik di KPK itu murni dari pembentukan KPK sendiri, melainkan penyidik itu berasal dari instansi lain seperti Polri, Kejaksaan dan Pengacara. Jadi kenapa kita harus persoalkan jika penyidik dari TNI itu merupakan suatu hal yang tabu dan menakutkan ? Bukankah setiap orang yang belajar hukum di Fakultas Hukum Indonesia menghasilkan sarjana hukum yang sama dan tidak ada batasan atau diskriminasi untuk bekerja di suatu bidang tertentu. Jadi kenapa sarjana hukum yang menjadi anggota TNI itu harus dibedakan dan tidak bisa dikaryakan di KPK ? Jika ada batasan atau larangan sarjana hukum yang menjadi anggota TNI itu tidak bisa menjadi penyidik di KPK itu merupakan suatu pandangan yang sangat naïf dan kerdil. Sebab anggota TNI yang menjadi penyidik KPK bukan berarti mewakili kepentingan instansi TNI, melainkan untuk kepentingan Negara. Lagi pula wacana ini dilatarbelakangi yang kerap terjadi ”perseteruan” antara KPK dan Polri. Bahkan masuk penyidik dari TNI bisa mewarnai suasana kerja di KPK dan sekaligus dapat berperan sebagai penyeimbang dalam melaksanakan tugas serta memupus jika penyidik terhadap anggota polri yang melakukan korupsi tidak berlanjut itu disebabkan karena penyidik itu berasal Polri.

Penyidik dari TNI yang dikaryakan di KPK bukan hanya didasarkan karena hubungan instansi semata, melainkan atas dasar pengalaman dan pengetahuan ilmu hukum yang telah dikuasainya. Bahkan instansi TNI memiliki para ahli hukum dan memiliki pengadilan militer. Lagipula pola kerja dilingkungan TNI telah mengalami reformasi dari sistem otoriter ke sistem transparansi dan akuntabel.

Untuk kasus BW yang dijadikan sebagai tersangka yang dikarenakan mengajari untuk memberi kesaksiaan palsu, Menurut Hartono bahwa jika pengacara melakukan itu bukan berarti bisa memalsukan data karena keterangan saksi dipersidangan masih harus dilakukan cross check dengan bukti-bukti yang disampaikan. Jadi hal ini merupakan siasat dalam sidang dan itu pasti bukan merupakan suatu kesaksian palsu, apalagi kasus itu sebenarnya sudah disidangkan dan diputuskan di pengadilan yang absah. Jadi kemungkinan besar kasus BW itu disebabkan terjadi karena dilatarbelakangi perseteruan dan harga diri.

 

Memaksa Harus Dihukum

Idealnya dalam penegakan hukum, doktor Hartono berharap penerapan hukum itu tanpa pandang bulu dan tidak berdasarkan kepentingan suatu golongan dan kelompok tertentu saja, meski kenyataan saat ini dapat dikatakan “politiklah yang menjadi panglima” dan peran hukum itu masih jauh dari harapan, karena salah satu penegak hukum lainnya, Pengacara itu belum diberikan hak dan kewenangan sebagai profesi Officium Nobile maka selama itu pula belum ada penyeimbang diantara para penegak hukum. Pengacara belum jalankan fungsi dan peran yang sesungguhnya, karena profesi yang dijalankan itu belum gunakan perangkat dan keahlian hukum secara maksimal. Sebab itu sudah saatnya sekarang profesi pengacara tidak dijalankan dengan hanya mengandalkan koneksi, korelasi, lobi dan uang itu akan berdampak negative dan sangat memprihatinkan nasib bagi para pencari keadilan.

Apabila seandainya Pengacara dapat menjalankan fungsi sebagai salah satu penegak hukum, maka dengan sendirinya dunia hukum di Negara kita akan mengalami kemajuan dan bahkan bisa menjadi penyeimbang yang sangat efektif dan sekaligus bisa mengurangi mafia peradilan dan tingkat korupsi di dunia hukum semakin terkikis dengan sendirinya.

Demikian juga halnya untuk memperkuat peran KPK di masa mendatang telah timbul suatu wacana agar KPK dapat juga memperkaryakan anggota TNI sebagai penyidik. Menurut doktor Hartono bahwa siapa saja bisa menjadi penyidik KPK sepanjang segala persyaratan sebagai penyidik KPK terpenuhi, terlepas penyidik itu berasal dari TNI atau bukan ? selama ini tidak ada penyidik di KPK itu murni dari pembentukan KPK sendiri, melainkan penyidik itu berasal dari instansi lain seperti Polri, Kejaksaan dan Pengacara. Jadi kenapa kita harus persoalkan jika penyidik dari TNI itu merupakan suatu hal yang tabu dan menakutkan ? Bukankah setiap orang yang belajar hukum di Fakultas Hukum Indonesia menghasilkan sarjana hukum yang sama dan tidak ada batasan atau diskriminasi untuk bekerja di suatu bidang tertentu. Jadi kenapa sarjana hukum yang menjadi anggota TNI itu harus dibedakan dan tidak bisa dikaryakan di KPK ? Jika ada batasan atau larangan sarjana hukum yang menjadi anggota TNI itu tidak bisa menjadi penyidik di KPK itu merupakan suatu pandangan yang sangat naïf dan kerdil. Sebab anggota TNI yang menjadi penyidik KPK bukan berarti mewakili kepentingan instansi TNI, melainkan untuk kepentingan Negara. Lagi pula wacana ini dilatarbelakangi yang kerap terjadi ”perseteruan” antara KPK dan Polri. Bahkan masuk penyidik dari TNI bisa mewarnai suasana kerja di KPK dan sekaligus dapat berperan sebagai penyeimbang dalam melaksanakan tugas serta memupus jika penyidik terhadap anggota polri yang melakukan korupsi tidak berlanjut itu disebabkan karena penyidik itu berasal Polri.

Penyidik dari TNI yang dikaryakan di KPK bukan hanya didasarkan karena hubungan instansi semata, melainkan atas dasar pengalaman dan pengetahuan ilmu hukum yang telah dikuasainya. Bahkan instansi TNI memiliki para ahli hukum dan memiliki pengadilan militer. Lagipula pola kerja dilingkungan TNI telah mengalami reformasi dari sistem otoriter ke sistem transparansi dan akuntabel.

Untuk kasus BW yang dijadikan sebagai tersangka yang dikarenakan mengajari untuk memberi kesaksiaan palsu, Menurut Hartono bahwa jika pengacara melakukan itu bukan berarti bisa memalsukan data karena keterangan saksi dipersidangan masih harus dilakukan cross check dengan bukti-bukti yang disampaikan. Jadi hal ini merupakan siasat dalam sidang dan itu pasti bukan merupakan suatu kesaksian palsu, apalagi kasus itu sebenarnya sudah disidangkan dan diputuskan di pengadilan yang absah. Jadi kemungkinan besar kasus BW itu disebabkan terjadi karena dilatarbelakangi perseteruan dan harga diri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Open chat
1
Welcome to Hartono & Rekan, don't hesitate to contact us if you need further information